HALAL BIL HALAL MENINGKATKAN KUALITAS AKHLAQ MANUSIA

Lebaran adalah hari raya umat Islam yang jatuh pada tanggal 1 Syawal setelah selesai menjalankan ibadah puasa selama sebulan. Lebaran disebut juga dengan Idul fitri. (menurut kamus bahasa Indonesia). Setiap hari raya idul fitri datang, tidak hanya baju baru saja yang menjadi ciri untuk menyambut kedatangan “bulan kemenangan” setelah satu bulan berpuasa. Tetapi ada hal yang lebih dari itu. Yaitu tradisi halal bi halal. Halal bi halal, adalah tradisi yang hanya ada di Indonesia dan merambah ke beberapa Negara tetangga dalam rumpun melayu, seperti Malaysia. Yang dicirikan dengan saling bersilaturrahmi dan saling bermaaf-maafan satu sama lain. KH Mustofa Bisri (Gus Mus) dalam Tradisi Lebaran, Tradisi Melebur Dosa (2006), menengarai tradisi halal bi halal itu dilakukan setelah njungkung sebulan penuh di bulan Ramadhan dengan ikhlas, hanya memburu ridho Allah, agar dosa-dosa kita (ummat Islam) diampuni. Namun, tambah budayawan penulis buku Lukisan Kaligrafi ini, dosa yang diampuni itu hanya yang berhubungan langsung dengan Allah. Masih ada dosa lain yang berkaitan dengan sesama kita, antar kita, dimana ampunan Allah bergantung pada pemaafan masing-masing yang bersangkutan. Apabila anda saya sakiti atau saya zalim dan anda tidak memaafkan saya, Allah pun tidak akan mengampuninya sampai anda mau memaafkan saya. “Idul fitri” sendiri diambil dari nama zakat yang wajib dikeluarkan oleh orang-orang Islam yang mampu, sebelum ied (hari raya) tiba, yaitu zakat “fitrah”. Sementara “lebaran”, dalam pandangan masyarakat umum, lazim dipahami sebagai sebuah perayaan yang diadakan usai (jawa: lebar) melaksanakan puasa Ramadhan.

Sejarah asal mula halal bi halal ada beberapa versi :

1. Menurut sebuah sumber yang dekat dengan Keraton Surakarta, bahwa tradisi halal bihalal mula-mula dirintis oleh KGPAA Mangkunegara I, yang terkenal dengan sebutan Pangeran Sambernyawa. Dalam rangka menghemat waktu, tenaga, pikiran, dan biaya, maka setelah salat Idul Fitri diadakan pertemuan antara Raja dengan para punggawa dan prajurit secara serentak di balai istana. Semua punggawa dan prajurit dengan tertib melakukan sungkem kepada raja dan permaisuri. Apa yang dilakukan oleh Pangeran Sambernyawa itu kemudian ditiru oleh organisasi-organisasi Islam, dengan istilah halal bihalal. Kemudian instansi-instansi pemerintah/swasta juga mengadakan halal bihalal, yang pesertanya meliputi warga masyarakat dari berbagai pemeluk agama.
* Sampai pada tahap ini halal bihalal telah berfungsi sebagai media pertemuan dari segenap warga masyarakat. Dan dengan adanya acara saling memaafkan, maka hubungan antarmasyarakat menjadi lebih akrab dan penuh kekeluargaan. Karena halal bihalal mempunyai efek yang positif bagi kerukunan dan keakraban warga masyarakat, maka tradisi halal bihalal perlu dilestarikan dan dikembangkan. Lebih-lebih pada akhir-akhir ini di negeri kita sering terjadi konflik sosial yang disebabkan karena pertentangan kepentingan.

2. Menurut J.J. Rizal (Tempo, 5 Nov 2006), istilah Lebaran pada mulanya diperkenalkan orang Betawi pada 1927. Sebagai sebuah tradisi, Lebaran tak sekadar dihikmati dengan kekhusyukan spiritualitas personal. Lebih dari itu, Lebaran dalam bentangan sejarah negeri ini selalu sarat nilai-nilai sosial yang terus mengalami reproduksi makna. (Jawa Pos :Minggu, 27 September 2009).

3. Seorang budayawan terkenal Dr Umar Khayam (alm), menyatakan bahwa tradisi Lebaran merupakan terobosan akulturasi budaya Jawa dan Islam. Kearifan para ulama di Jawa mampu memadukan kedua budaya tersebut demi kerukunan dan kesejahteraan masyarakat. Akhirnya tradisi Lebaran itu meluas ke seluruh wilayah Indonesia, dan melibatkan penduduk dari berbagai pemeluk agama. Untuk mengetahui akulturasi kedua budaya tersebut, kita cermati dulu profil budaya Islam secara global. Di negara-negara Islam di Timur Tengah dan Asia (selain Indonesia), sehabis umat Islam melaksanakan salat Idul Fitri tidak ada tradisi berjabatan tangan secara massal untuk saling memaafkan. Yang ada hanyalah beberapa orang secara sporadis berjabatan tangan sebagai tanda keakraban.

Menurut tuntunan ajaran Islam, saling memaafkan itu tidak ditetapkan waktunya setelah umat Islam menyelesaikan ibadah puasa Ramadan, melainkan kapan saja setelah seseorang merasa berbuat salah kepada orang lain, maka dia harus segera minta maaf kepada orang tersebut. Bahkan Allah SWT lebih menghargai seseorang yang memberi maaf kepada orang lain (Alquran Surat Ali Imran ayat 134).

Kapan istilah halal bil hahal dipergunakan :



Halal bi Halal (halal dengan halal, saling menghalalkan) walaupun namanya mempergunakan bahasa (lafadz) Arab dan telah melembaga di kalangan penduduk Indonesia. Pada zaman Nabi Saw., dan juga zaman-zaman sesudahnya tidak ditemukan. Hingga abad sekarang; baik di negara-negara Arab maupun di negara Islam lainnya (kecuali di Indonesia) tradisi ini tidak memasyarakat atau tidak ditemukan. Sedangkan di Indonesia, tradisi ini baru mulai diselenggarakan dalam bentuk upacara sekitar akhir tahun 1940-an dan mulai berkembang luas setelah tahun 1950-an. (Ensiklopedi Islam, 2000) Ensiklopedi Indonesia, 1978, menyebutkan halal bi halal berasal dari bahasa (lafadz) Arab yang tidak berdasarkan tata bahasa Arab (ilmu nahwu), sebagai pengganti istilah silaturahmi. Berasal dari kalangan yang tidak mengerti bahasa Arab, tetapi tetap mencintai Islam.

Dewasa ini, halal bi halal diselenggarakan hampir oleh seluruh lapisan masyarakat muslim Indonesia, baik oleh kelompok dari suatu daerah tertentu, keluarga besar, kelompok kerja, kelompok pedagang, organisasi sosial-politik lembaga perusahaan swasta maupun intansi pemerintah. Dengan demikian tergabung dalam beberapa kelompok yang berbeda mengikuti kegiatan halal bi halal. Asal-usul tradisi halal bi halal, dari daerah mana, siapa yang memulai dan kapan kegiatan tersebut mulai diselenggarakan sulit diketahui dengan pasti. Karena, tradisi “Sembah Sungkem” (datang menghadap untuk menyatakan hormat dan bakti kepada orang tua, orang yang lebih tua, atau orang yang lebih tinggi status sosialnya) sudah membudaya dan ada pada pada hampir semua suku dalam masyarakat Indonesia.

Telaah terhadap istilah halal bi halal.

Untuk menghindari kesalah-pahaman terhadap makna, serta penggunaan kalimat halal bi halal, yang dalam tradisi di Indonesia, merupakan pengganti dari Silaturahmi, tampaknya tidak salah jika dilakukan telaah terhadap istilah tersebut, baik dari sisi arti kata, uslub bahasa, sejarah perkembangan makna, serta ilmu bahasa.

Pada umumnya kelompok masyarakat yang mengadakan halal bi halal, mengartikan istilah halal bi halal itu dengan “Saling bebas membebaskan” atau “Saling maaf-memaafkan kesalahan dan dosa”. Jadi kata halal di sini, diartikan “Bebas” atau “Maaf”. Kata al-Halal menurut Luwes ma’luf (1927:142) artinya Dhiddul Haram (sebalik dari haram). Dan kata al-Haram berarti; tercegah, terlarang, tidak boleh, yang diambil dari kata Mana’a-Harama “Mencegah”. Dengan demikian kata halal berarti “boleh” atau “tidak tercegah” Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan Abdul Hamid Hakim (tt:13) yang mengartikan al-halal searti dengan al-mubah atau al-Jaizu artinya “Boleh” (Tidak terlarang). Dengan demikian, kalimat halal bi halal, artinya “Boleh dengan boleh”, bukan saling bebas membebaskan atau saling maaf memaafkan.

* Maaf (forgive) adalah pembebasan seseorang dari hukuman (tuntutan, denda, dsb) karena suatu kesalahan. Maaf dalam bahasa Arab adalah ‘Afwan berarti maafkan aku. Kata ‘afwan itu sendiri sebenarnya sudah merupakan sebuah permintaan maaf yang sangat. Adapun kata dalam bahasa arab lainnya yang berarti maaf adalah aasif. Dan untuk kata ini (aasif) tidak terkandung makna permintaan maaf dengan sungguh-sungguh.

Kata Maaf dalam al-Qur’an disebutkan :

“…dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. (QS. 3:134) “Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang maruf, serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh.” (QS. 7:199) “…dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. 24:22) “..dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. 64:14) “Jika kamu melahirkan sesuatu kebaikan atau menyembunyikan atau memaafkan sesuatu kesalahan (orang lain), maka sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Kuasa.” (QS. 4:149) “maka maafkanlah mereka dan biarkan mereka, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. 5:13) “maka maafkanlah (mereka) dengan cara yang baik.” (QS. 15:85) “Dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji, dan apabila mereka marah mereka memberi maaf. (QS. 42:37). Barang siapa yang memaafkan dan berlaku damai, pahalanya ada ditangan Allah. (QS. 42;40). Memaafkan itu lebih mendekatkan kepada taqwa. (QS. 2 ; 237). Dan hendaklah mereka suka memaafkan dan mengampuni. apakah kalian tidak suka Allah mengampuni kalian ? (QS. 24 ; 22). Maafkanlah mereka dan mintakanlah ampunan bagi mereka dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam segala urusan (keduniaan). (QS. 3 ; 159). Ambillah jalan maaf, dan ajaklah dengan cara yang lemah lembut dan berpalinglah dari orang orang yang jahil. (QS. 7 ; 199). Dan orang - orang yang dapat menahan meluapnya kemarahan dan yang suka memaafkan orang lain dan Allah mencintai orang - orang yang berbuat baik. (QS. 3 ; 134)

* Dari dalil tersebut menunjukkan pentingnya bermaaf-maafan antar sesama manusia. Hal ini juga menunjukkan ciri seorang muslim yang berakhlaq mulia.

Telaah terhadap “Silaturahmi”.

Kalimat silaturahmi dari bahasa Arab, tersusun dari dua kata silah yaitu, ‘alaqah (hubungan) dan kata al-rahmi yaitu, al-Qarabah (kerabat) atau mustauda’ al-janîn artinya “rahim atau peranakan”. (al-Munawwir, 1638, 1668) Kata al-Rahim seakar dengan kata al-Rahmah dari kata rahima “menyayangi-mengasihi”. Jadi secara harfiyah Silaturahmi artinya “Menghubungkan tali kekerabatan, menghubungkan kasih sayang”.

Al-Raghib mengkaitkan kata rahim dengan rahim al-mar`ah (rahim seorang perempuan) yaitu tempat bayi di perut ibu. Yang bayi itu punya sifat disayangi pada saat dalam perut dan menyayangi orang lain setelah keluar dari perut ibunya. Dan kata rahim diartikan “kerabat” karena kerabat itu keluar dari satu rahim yang sama. Al-Raghib juga mengutip sabda Nabi, yang isinya menyebutkan, ketika Allah Swt menciptakan rahim, Ia berfirman, “Aku al-Rahman dan engkau al-Rahim, aku ambil namamu dari namaku, siapa yang menghubungkan padamu Aku menghubungkannya dan siapa yang memutuskan denganmu Aku memutuskannya”.

Dengan makna di atas, secara harfiyah arti silaturahmi dapat dikatakan pula, menyambungkan kasih-sayang atau kekerabatan yang menghendaki kebaikan. Dan secara istilah makna silaturahmi, antara lain dapat dipahami dari apa yang dikemukakan Al-maraghi (1971, V:93) yang menyebutkan, “Yaitu menyambungkan kebaikan dan menolak sesuatu yang merugikan dengan sekemampuan”.

Telaah uslub bahasa.

Kalimat silaturahmi merupakan uslub Qur’ani, bahasa Al-Qur’ân, bahasa yang digunakan oleh Rasul Saw. Alqur’ân telah mengisyaratkan tentang hal itu, antara lain firman Allah Swt, dalam al-Ra’du 21, "Walladziina yashiluuna maa amarallahu bihi an yuushala wa yakhsyauna rabbahum wa yakhaafuuna suu`al hisaab." Terhadap lafadz Yashiluna para mufashir, seperti Al-Maraghi (V:93) Mahmud Hijazi (II:228) dan Shawi (II:336) Jalaludin al-Syuyuthi (IV:637) tidak berbeda pendapat, bahwa yang dimaksud adalah yashiluuna arrahmi menyambungkan kekerabatan, kasih sayang yang merupakan haq semua hamba. Dan kata Arrahmi ditunjukan pula oleh al-Kahfi dalam ayat 81 dengan kalimat Aqrabu rahman lebih dalam kasih sayangnya) Jadi silaturahmi itu bahasa Alqur’ân. Sementara kalimat silaturahmi yang disabdakan oleh Nabi dan sebagai bahasanya Nabi, banyak kita jumpai dalam hadits-hadits, antara lain: "Asra'ul khaira tsawaaban albirra wa shilatur rahmi." kebaikan yang paling cepat balasannya, yaitu berbuat kebaikan dan silaturahmi.

Silaturahmi umum yaitu, silaturahmi kepada siapa saja; seagama dan tidak seagama, kerabat dan bukan kerabat. Di sini kewajiban yang harus dilakukan diantaranya; menghubungi, mengasihi, berlaku tulus, adil, jujur dan berbuat baik dan lain sebagainya yang bersifat kemanusiaan. Silaturahmi ini disebut silaturahmi kemanusiaan.

Silaturahmi khusus yaitu, silaturahmi kepada kerabat, kepada yang seagama, yaitu dengan cara membantunya dengan harta, dengan tenaga, menolong, menyelesaikan hajatnya, berusaha menolak kemadharatan yang menimpanya, dan berdo’a, dan membimbing agamanya karena takut adzab Allah. Al-Maraghi (V:93) menyebutkan silaturahmi kepada kerabat mu’min, yaitu menghubungkan karena imannya, ihsan, memberi pertolongan, mengasihi, menyampaikan salam, menengok yang sakit, membantu dan memperhatikan haknya.“Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Rabbnya dan takut kepada hisab yang buruk”. (QS. 13:21)

Dengan memperhatikan dan membandingkan dua hal di atas (Silaturahmi dan Halal bi halal) Silaturahmi lebih bermakna dari pada halal bi halal. Suatu kegiatan yang mengandung nilai baik, alangkah baiknya jika diberi nama yang baik pula. Tradisi berkumpul, bersalaman, saling memaafkan yang dilakukan sebagian orang di Indonesia setelah I’dul Fitri yang suka disebut halal bi halal, lebih bermakna jika disebut silaturahmi. Silaturahmi dalam pandangan Islam tidak terikat waktu, dan tidak terikat pada yang seagama, tetapi kapan waktu, dan kepada siapa saja, seagama juga berbeda agama dengan cara-cara yang tertentu. (Drs. Dedeng Rosyidin, M.Ag)

HIKMAH HALAL BI HALAL

Hikmah yang dapat di petik dari suatu prosesi pelaksanaan halal bi halal yang selama ini kita laksanakan adalah sebagai berikut :

1) Bersikap kasih sayang kepada sesama muslim, seperti mengasihi diri sendiri.Jangan mengkhususkan sesuatu untuk diri pribadi tanpa mengindahkan mereka. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi SAW : “Tiada sempurna iman seseorang hingga ia mengasihi saudaranya sebagaimana ia mengasihi dirinya sendiri “. (HR Bukhori & Muslim )

2) Selalu menebarkan salam, berjabat tangan dan bertutur kata yang manis apabila berjumpa dengan sesama Muslim. Hal ini sesuai dengan hadist Nabi SAW : “Hak seorang muslim kepada muslim lainnya ada enam perkara yaitu apabila kamu berjumpa dengan dia, hendaklah memberi salam kepadanya. Apabila kamu diundangnya, perkenankanlah undangan itu. Apabila ia meminta nasihat kepadamu, nasihatilah ia. Apabila ia bersin dan memuji Allah maka jawablah dengan ucapan “ Yarhamukullah “. Apabila dia sakit, jenguklah dia. Apabila meninggal dunia maka iringilah jenazahnya “. (HR Muslim)

3) Hendaklah bergaul dengan sesama manusia dengan akhlak yang baik, sayang menyayangi dan tidak lekas marah. Hal ini sesuai dengan firman Allah dan Hadist Nabi Muhammad SAW : “Dan sesungguhnya kamu harus benar-benar berbudi pekerti yang tinggi “. (QS Al Qalam 68 : 4) . “Orang mukmin yang paling yang paling sempurna imannya ialah mereka yang paling baik akhlaknya “ (HR Turmudzi)

4) Selalu bersikap tawadhu kepada sesama manusia sebagaimana perintah Allah dengan firman- Nya dan Hadits Nabi SAW :“Dan berendah hatilah kamu terhadap orang-orang yang beriman “. (QS Al Hijr 15 : 88). “Dan barang siapa yang merendahkan hati karena Allah, niscaya Allah akan mengangkat martabatnya. Pada penglihatannya dia kecil tetapi dimata orang orang banyak dia besar, Dan barang siapa sombong niscaya Allah meletakkannya atau merendahkan martabatnya. Dimata orang banyak dia kecil tetapi dimatanya sendiri dia besar sehingga ia lebih hina bagi kamu daripada anjing atau babi “. (HR Thabrani). “Sesungguhnya Allah telah menurunkan wahyu kepadaku : berendah hatilah kamu hingga tiada seorangpun membanggakan diri kepada orang lain dan janganlah berbuat kejahatan seseorang terhadap orang lainnya “. (HR Muslim)

5) Selalu berusaha mencari kerelaan sesama manusia dan memandang mereka dengan baik, Saling tolong menolong dalam menegakkan kebajikan dan takwa serta mencintai Allah, mendorong mereka supaya berusaha mencapai kerelaan Allah, menunjuki mereka ke jalan yang benar jika anda sudah dewasa dan belajar dari mereka jika anda lebih muda. Hal ini sesuai dengan Firman Allah dan Hadits Nabi SAW : “Dan tolong menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan takwa dan janganlah tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran “. (QS Al Maidah 5 :2)

6) Selalu menyayangi sesama umat manusia dengan menghormati orang-orang tua dan menyayangi anak-anak sesuai dengan hadits Nabi SAW : “Tiadalah termasuk golongan kami , orang-orang yang tidak menghormati orang-orang tua kami dan tidak menyayangi anak-anak kami “. (HR Turmudzi). “Orang-orang yang menaruh balas kasihan, dirahmati Allah Yang Maha Pengasih “. (HR Abu Daud). “Jika kamu ingin mendapat Rahmat-Ku maka sayangilah makhluk-Ku “. (Hadits Qudsi). “Barang siapa tidak menyayangi orang niscaya Allah tidak menyayanginya”. (HR Muslim)

7) Selalu saling menasihati dengan lemah lembut apabila melihat atau terdapat kesalahan diantara sesama umat Islam . Sesuai dengan Hadits Nabi SAW : “Barang siapa menyembunyikan aurat atau aib saudaranya niscaya Allah menyembunyikan aibnya. Dan barang siapa membukakan aurat atau aib saudara niscaya dibukakan Allah aibnya sehingga keaibannya disiar-siarkannya dalam rumahnya”. (HR Muslim)
8) Saling memaafkan diantara sesama umat manusia. Hal ini sesuai dengan Hadits Nabi SAW dan Firman-Nya : “Jadilah engkau seorang yang pemaaf……..”. (QS Al A’raf 7:199)

9) Selalu mendamaikan sengketa yang terjadi diantara sesama manusia. Janganlah berpihak kepada salah seorang diantara mereka . Tetapi damaikanlah dengan cara yang baik dan lemah lembut . Hal ini sesuai dengan Hadits Nabi SAW : “Sedekah yang paling baik adalah mendamaikan orang yang berselisih “. (HR Thabrani). “Bukanlah pendusta orang yang mendamaikan sesama manusia lalu dikembangkannya kebaikan atau diucapkannya perkataan yang baik-baik “. (HR Bukhori)

10) Selalu bertegur sapa dan beramah tamah diantara sesama manusia. Sesuai dengan Hadits Nabi SAW :“Apabila salah seorang kamu mengasihi saudaramu pada jalan Allah maka hendaklah ia mengajarinya karena hal itu melebihlamakan keramah-tamahan dan lebih memantapkan kemesraan “. (HR Bukhari). “Bila anda bersahabat dengan seseorang tanyalah namanya dan nama ayahnya atau bertegur sapa . Jika ia tidak ditempat, anda menjaganya , dan jika ia sakit, anda menjenguknya dan jika ia meninggal dunia anda menyaksikannya atau mengiringinya “. (HR Al Baihaqi)

* Demikianlah beberapa hikmah yang dapat kita ambil sebagai pelajaran yang sangat mendalam dari sebuah penyelenggaraan kegiatan halal bi halal, semoga kita dapat mengaktualisasikannya dalam kehidupan sehari-hari.

Renungan Tentang Fitrah dan Umur Manusia

Dalam Alqur’an, kata fitrah berasal dari kata fathara. Fitrah mengandung arti “yang mula-mula diciptakan Allah”, “keadaan yang mula-mula”, “yang asal”, atau “yang awal”. Kata fitrah dalam konteks ayat ini (fathara) dikaitkan dengan pengertian hanif, yang jika diterjemahkan secara bebas menjadi “cenderung kepada agama yang benar”. Dari pengertian tersebut, timbul suatu teori, bahwa agama umat manusia yang paling asli adalah menyembah kepada Allah. Dan disinilah sejatinya letak fitrah manusia

Fitrah adalah sifat batin semula, yang dibekalkan oleh ALLAH ke dalam diri setiap manusia sejak azali lagi. Fitrah wujud bersama lahirnya tubuh kasar manusia ke dunia. Ia terus menjadi sifat manusia tanpa melalui proses berguru atau pengalaman. Cuma ia tidak cukup subur semasa manusia masih bayi. Ia beransur-ansur subur bersama kesuburan yang dialami oleh jasad lahir manusia. Contoh-contoh sifat fitrah ini ialah takut, sayang, simpati, marah, dendam, benci, gembira, dengki, megah, sedih dan lain-lain lagi. Rasa-rasa fitrah ini bukannya diperolehi di mana-mana sekolah atau dari mana-mana guru. Ia sudah sedia ada. Ia menjelma dalam kalbu manusia di waktu manusia itu berhadapan dengan keadaan yang tertentu. Sekali lagi, rasa-rasa yang menjelma silih berganti ke dalam hati itu, bukannya didapati hasil berguru atau pengalaman. Ia adalah semulajadi. Ia wujud bersama lahirnya manusia ke dunia. Itulah fitrah. ALLAH SWI` berfirman: " Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (ALLAH); tetaplah atas fitrah ALLAH yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah ALLAH. Itulah agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. "(Ar Rum: 30 )

Setelah mencapai tahap umur dewasa maka manusia akan beralih kepada umur tua. Dalam tahapan ini akan nampak tanda-tanda kelemahan seseorang. Tahap umur ini oleh Rasullullah saw dinamakan 'pergulatan dengan maut', yaitu masa-masa umur 60'an hingga 70'an. Dalam hal ini beliau bersabda: "Masa penuaian umur umatku dari 60 hingga 70 tahun". (HR. Muslim & Nasa-i). Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah RA dari Rasulullah SAW, beliau bersabda, “Umur umatku adalah antara 60 hingga 70 tahun. Sedikit dari mereka yang melebihi itu” ini adalah hadits yang shahih, dikeluarkan oleh Imam at-Turmudzy (3550), Ibn Majah (4236), Ibn Hibban (II:96), al-Hakim (II:427). Hadits lain dari Anas sabda beliau SAW berbunyi, “Sedikit dari mereka yang mencapai usia 80 tahun.” Dikeluarkan oleh Abu Ya’la (V:283) dan dinilai Shahih oleh Syaikh al-Albany di dalam kitabnya as-Silsilah as-Shahihah (757).

Bersabda nabi Muhammad saw. dalam sebuah hadist Qudsi: "Telah berfirman Allah SWT:'Demi kemuliaan-Ku, kebesaran-Ku, dan keperluan sekalian mahluk-Ku kepada-Ku, sesungguhnya Aku merasa malu menyiksa hamba-Ku, baik lelaki maupun wanita yang telah beruban kerana mencapai umur tua di dalam Islam'. Kemudian Rasullullah saw. menangis . Lalu ditanyakan kepadanya:"Apa sebab engkau menangis, ya Rasullullah ?" Jawab beliau: "Aku menangisi orang tua yang Allah malu kepadanya, sedangkan dia tidak malu kepada Allah SWT."

Ali bin Abi Thalib ra. Pernah berkata : “Jika seorang pemuda dikaruniai usia 60 tahun, maka separuh usianya habis oleh tidur di malam hari. Sementara seperempat usianya berlalu tanpa diketahui, apakah dijalankan ke kanan atau ke kiri. Seperempat usianya yang lain dimangsa oleh sakit, uban, dan kesibukan mengurus keluarga.”

Jika umur kita pada kenyataannya lebih banyak yang kita habiskan untuk sesuatu yang tidak berguna, maka kiranya kini saatnya untuk tidak lagi menyia-nyiakan waktu yang tersisa. Sebagaimana sahabat Abdullah bin Umar r.a. pernah menceritakan hadits dari Rasulullah Saw. yang perlu dicamkan berkaitan dengan hal ini. Rasulullah Saw. memegang kedua pundakku dan bersabda, “Jadilah di dunia seakan-akan kamu orang asing (perantau) atau pengembara (musafir).” Abdullah bin Umar ra. berkata, “Jika berada di waktu sore, jangan menanti waktu pagi. Jika berada di waktu pagi, jangan menanti waktu sore. Pergunakanlah (rebutlah) masa sehatmu (dengan amal-amal shaleh) untuk bekal (antisipasi) masa sakitmu dan masa hidupmu untuk bekal (antisipasi) masa matimu.” (H.R. Bukhari).

Dengan Halal bil Halal ini Semoga kita digolongkan hamba-Nya yang mampu mengisi umur kita dengan sebaik-baiknya sehingga menjadi manusia yang mulia dunia dan akhirat. Amin.

“Semoga Bermanfaat”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengaca Kehidupan Semut bagi Kehidupan Manusia

Garis Besar Buku The Best Seller Biografi KH. Arief Hasan

Saiful Amin Ghofur Sang Penulis Buku